Posted in The Mortals

Ikan

Tahun 2010. Aku melepaskan ikatanku dengan lelakiku saat itu. Secara baik-baik, tentu saja…

Dia – sebut saja ‘Iteng’ – mewariskan kepadaku, sebuah akuarium beserta dua ekor ikan hias.

Sepasang ikan yang akhirnya menjadi anak-anak baruku merupakan ikan-ikan tuna. Bukan tuna seperti yang mungkin sekarang kamu bayangkan berkecipak di dalam kaleng sarden. Bukan… Mereka adalah ikan tuna karena keterbatasannya. Ikan-ikanku tuna netra.

Ke-tuna-an itu menjadikan ide mengenai nama mereka berdua. Ikan yang sama sekali tidak punya mata, kuberi nama “Pi”. Kawannya yang bermata satu, kuberi nama “Cek” (lafalkan huruf ‘e’ disini seperti saat kamu mengucapkan ‘e’ dalam ‘lemari’).

Pi dan Cek saling melengkapi. Bulatan-bulatan makanan ikan yang kutaburkan, mengambang di atas permukaan air, untuk kemudian dihampiri oleh Cek dengan gerak-gerik yang berisik dipandang. Rempong – meminjam istilah yang sedang tren sekarang.

Gerak Cek yang berlebihan merupakan tanda bagi Pi untuk naik ke permukaan. Melahap dengan tenang butiran-butiran makanan, bersama dengan Cek.

. . .

Pi dan Cek sudah tiada. Memorinya tetap tinggal, karena bagaimanapun, Pi dan Cek adalah sepasang ikan yang sempat menjadi cameo dalam perjalanan hidupku.

Saat ini, aku bertemankan ‘ikan’ yang lain. Pergerakannya tidak berkutat pada batas-batas dinding akuarium. Batas ruang geraknya lebih tidak nyata… Abstrak… Pekerjaan, keluarga, kota tempat ia berdiam, kondisi fisik…

Ikan yang saat ini kukenal, sempat menjatuhkan hatinya pada Pohon – jenis yang bukan kaumnya. Inilah anomali.

Saat ini pun sepertinya Ikan masih menggantungkan harapan-harapannya pada Pohon, yang merelakan dahan-dahannya untuk digelayuti, namun menolak saat Ikan meminta untuk tinggal dalam satu rongga kosong di tubuh Pohon.

“Tidak ada cukup air untuk kamu di dalam sini, Ikan…”

Ikan-pun tak lagi menggelayut pada Pohon. Ikan tak lagi meninggalkan sisik-sisik cantiknya sebagai mozaik pada Pohon. Ikan kehilangan pilar dari makna eksistensinya. Ikan tak lagi peduli apakah pada detik-detik saat ia terjaga, ia masih berada dalam air – yang menjaganya tetap hidup. Dan Pohon masih saja menyajikan iming-iming dengan menyisihkan sebagian embun dari pangkuan dedaunannya untuk diberikan kepada Ikan. Inilah ironi.

Ikan masih bisa memandang dua punggung yang saling bersentuhan, dua tangan yang bertautan. Punggung dan tangan dari dua kaum yang berbeda: Ikan dan Pohon. Ikan masih melihat gambaran samar tentang siluet Pohon yang melawan paparan senja. Inilah imajinasi.

Ikan sudah tiba di depan portal kebebasannya. Sebuah portal yang menjadi pagar antara riuh rendah pepohonan dengan danau yang dingin dan tenang. Ikan hanya perlu menempuh sejengkal-dua jengkal untuk dapat mencicipi kesejukan air danau dengan segenap pori-pori tubuhnya. Sehentak lompatan Ikan, melampaui batas portal, akan mampu membuatnya tercebur ke dalam danau. Bilamana ini terjadi, Ikan akan menemukan suatu hari bahwa ada ikan lain yang akan melengkapi geraknya, layaknya Pi dan Cek…

. . .

Teruntuk pencipta gelembung… -blub blub blub-

Author:

I am a greedy person. I always want to get more, to be more, to gain more. Sometimes I feel like I can't get through my own mind. I couldn't even understand myself. That's why I create ExtraordinarNee. To see through me, and to be seen... :)

Write your comment down here...